Oleh: Saiful Huda Ems.
Sebelum saya memulai menulis opini ini, saya ucapkan bela sungkawa dan duka cita yang mendalam atas wafatnya kakak kandung dari Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), yakni Mas Ahmad Fuad Effendi yang wafat pada Hari Jumat 20 Januari 2023 dan dimakamkan di kampung halamannya, Sentono Arum, Menturo, Sumobito Kabupaten Jombang. Semoga almarhum tergolong sebagai ahli surga dan keluarga yang ditinggalkannya diberikan kesabaran dan ketabahan. Aamiin...Turut hadir dan memimpin doa dalam acara pemakaman ini keluarga saya dari Gresik dan Jombang.
Cak Nun, nama beliau sekarang kembali menjadi perbincangan publik yang sangat ramai khususnya di medsos. Cak Nun dihujat habis-habisan oleh para pendukung Pak Presiden Jokowi gara-gara pernyataan Cak Nun dalam ceramah kebudayaannya yang menyebut Jokowi Fir'aun, Anthoni Salim Korun dan LBP sebagai Hamman. Serangan kecaman sinis yang diarahkan ke Cak Nun bertambah membabi buta, ketika Cak Nun mengklarifikasi pernyataannya sendiri, bahwa saat itu beliau mengucapkannya secara tiba-tiba, spontan dan seperti sedang kesambet. Untuknya Cak Nun sampai diingatkan oleh keluarganya sendiri, dan Cak Nun meminta maaf di hadapan keluarganya. Dan ini yang membuat para pendukung Jokowi bertambah marah, meminta maaf kok ke keluarga bukan ke Pak Jokowi. Begitu gerutu teman-teman di medsos.
Beberapa sahabat terdekat saya yang dari latar belakang etnis Tionghoa pun tidak menerima ucapan Cak Nun yang terdengar bukan hanya sinis pada Presiden Jokowi, melainkan juga dianggapnya selalu berbau rasis. Cak Nun dianggapnya selalu menyerang etnis China (Tionghoa) di Indonesia gara-gara prilaku sebagian konglomerat keturunan etnis Tionghoa di Indonesia yang mendukung Jokowi dan Mega, padahal kata mereka sejatinya banyak juga konglomerat etnis Tionghoa yang mendukung Anies Baswedan ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Seperti kasus proyek reklamasi pantai di Jakarta, bukankah Anies yang dalam kampanye Cagub DKI Jakarta menyatakan akan menolak proyek reklamasi pantai, namun saat jadi Gubernur justru Anies yang malah melanjutkannya? Jika tidak didukung oleh konglomerat China, apa mungkin proyek itu bisa terus berjalan? Terus mengapa Cak Nun terlihat lebih mendukung Anies dan bukan Ahok ketika itu? Konglomerat China yang mendukung Anies itu juga banyak sekali, dan merekalah yang dahulu membantu Anies untuk menjatuhkan Ahok. Seperti Pantai Indah Kapuk yang dipajekin Ahok besar, hingga konglomerat China itu marah dan membantu Anies untuk menurunkan Ahok, lalu kenapa Cak Nun kok gak kritis pada mereka dan malah mendukung Anies?. Begitu kira-kira bantahan sahabat-sahabat saya terhadap sinisme Cak Nun pada etnis Tionghoa selama ini. Lalu bagaimana saya meresponnya?.
Begini, hal pertama yang perlu masyarakat ini ingat dan ketahui, bahwa Cak Nun itu hadir sebagai cendekiawan atau budayawan kritis itu bukan hanya di masa Presiden Jokowi, melainkan pula di masa Presiden Soeharto, Gus Dur, Megawati dan SBY. Sedekat apapun hubungan pribadi Cak Nun dengan Soeharto, terlebih dengan Gus Dur, kemudian Megawati dan SBY, Cak Nun ketika sudah kembali ke panggung kebudayaannya atau panggung dakwah agamanya, akan selalu menyuguhkan pemikiran-pemikiran kritisnya pada semua presiden atau pemerintahan dan semua kalangan itu. Jika Cak Nun dianggap hanya kritis pada Jokowi, Cak Nun juga kritis pada Presiden-Presiden sebelum Jokowi. Jika Cak Nun dianggap kritis hanya pada keturunan Tionghoa, Cak Nun sudah sangat sering juga terlihat sangat kritis pada keturunan Arab. Apa kita tidak melihat semua itu? Karena itu teramat keblasan sekali kalau ada orang yang menyebut Cak Nun itu cendekiawan peliharaan Cendana.
Jika yang menjadi acuan bahwa Cak Nun cendekiawan peliharaan Cendana adalah Cak Nun yang pernah datang ke istana memenuhi panggilan Presiden Soeharto sebelum lengser, maka bagaimana dengan Gus Dur, Cak Nurcholish Madjid, Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, Prof. Malik Fajar dll. yang saat itu juga datang ke istana memenuhi undangan Presiden Soeharto? Apakah beliau semua juga harus dicap sebagai orang-orang peliharaan Cendana (Keluarga Soeharto)?. Tidak bukan?. Karena itu tuduhan Cak Nun sebagai cendekiawan peliharaan Cendana sangatlah tidak berdasar. Cak Nun itu Cendekiawan Muslim yang selalu menempatkan dirinya berada di tengah (moderat), untuk memberikan keseimbangan politik dan sosial.
Cak Nun sebagaimana Gus Dur dan Cak Nurcholish Madjid (Cak Nur), selalu menghindar untuk berdiri di kutub ekstrim, karenanya ketiga Cendekiawan Muslim yang saya kenali pemikiran-pemikiran cerdas dan genuinenya itu selalu menolak revolusi sosial. Berbagai upaya pendekatan dialogis horizontal (dengan masyarakat) dan vertikal (dengan elite-elite kekuasaan) akan selalu dijadikan metode perjuangannya. Olehnya jangan heran, baik Cak Nun, Gus Dur maupun Cak Nur biasanya setelah mengkritik keras pemerintah, selalu disusul kemudian dengan upaya tabayyun (check and recheck), meminta klarifikasi dengan para pejabat negara yang berkepentingan. Lihat saja setiap acara-acara ceramah Cak Nun biasanya selalu dihadiri para Menteri, Panglima TNI, Pangdam, Kapolri, Kapolda, Kapolres, politisi-politisi partai dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya.
Entah sudah berapa kali saya katakan, bahwa kekuasaan itu memerlukan para pengkritiknya, agar kekuasaan tidak terlena dan bisa bekerja lebih serius dan mawas diri. Pemimpin negara tanpa kritik biasanya akan cenderung jatuh menjadi korup dan bekerja secara serampangan. Presiden Jokowi sepengetahuan saya sudah bekerja sangat keras, hingga berbagai kejutan lompatan perubahan infra dan suprastruktur dapat kita semua saksikan. Cak Nun sebagai bagian dari pressure group pun demikian, sudah bekerja siang malam ke seluruh pelosok Nusantara hingga ke manca negara untuk konsolidasi civil society. Jika sudah demikian, maka berarti tidak ada alasan apapun bagi kita untuk tidak mengapresiasi kedua tokoh besar ini.
Dari zaman ke zaman pemikiran Cak Nun telah mewarnai atmosfir pemikiran kebangsaan kita, apalagi saya yang mengenal Cak Nun semenjak saya masih sekolah dibangku SD, karena keluarga saya dan keluarga beliau sering bertemu untuk silaturrahmi ke rumah masing-masing (Jombang, Gresik dan Yogyakarta). Ditambah lagi dengan kehadiran putra sulungnya, yakni Sabrang Mowo Damar Panuluh (Noe) yang memimpin group Band Letto, dan yang hadir dengan pemikiran-pemikiran sufistiknya yang sangat memukau dan digemari oleh banyak generasi milenial.
Kedua tokoh ini (Cak Nun dan Noe), berjasa besar dalam menjaga dan merawat kebhinekaan kita. Ingat, berapa banyak kelompok-kelompok ekstrim, radikal diredam dan dirangkulnya, bukan untuk membuat barigade perlawanan agama terhadap negara, melainkan menyalakan pelita agama untuk pencerahan Bangsa Indonesia. Mereka yang bodoh karena dibodohkan dan buta karena dibutakan, serta miskin karena dimiskan oleh pejabat-pejabat korup (tentu bukan Pak Jokowi atau Gus Dur dan Ibu Megawati) dan oleh para kriminal-kriminal berjubah agama, Cak Nun datangi, temani, hibur dan besarkan hatinya, agar kuat dan lebih siap untuk menjadi umat dan bangsa yang cerdas, kritis dan jauh lebih maju. Kenapa kita tidak melihat sisi positif dari perjuangan Cak Nun ini?. Sapere aude...(SHE).
23 Januari 2023.
Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Ketua Umum Pimpinan Pusat HARIMAU JOKOWI-HARIMAU PERUBAHAN.